Selasa, 22 November 2016

Tunadaksa

TUNADAKSA
1 Pengertian Tunadaksa
Tunadaksa berasal dari kata “ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan “daksa“berarti tubuh. Dalam banyak literatur cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia.Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, Menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita).
Menurut Sutjihati Somantri, bahwa tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Sedangkan menurut Mohammad Efendi, bahwa tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan.
Dan dipertegas lagi oleh Aqila Smart, bahwa tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh.
Kesimpulannya, jadi anak tunadaksa adalah manusia yang masih kecil dimana anak tersebut mengalami gangguan pada anggota tubuhnya baik itu disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.

2 Faktor Penyebab Anak Tunadaksa
Seperti kondisi ketunaan yang lain, kondisi kelainan pada fungsi anggota tubuh atau tuna daksa dapat terjadi sebelum anak lahir (prenatal), saat kelahiran (neonatal), dan setelah anak lahir (postnatal).
1.      Sebelum Anak Lahir (prenatal)
Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir atau ketika dalam kandungan diantaranya dikarenakan faktor genetik  dan kerusakan pada system syaraf pusat, faktor lain yang menyebabkan kelainan pada bayi selama dalam kandungan adalah:Anoxia Prenatal hal in disebabkan pemisahan bayi di plasenta, penyakit anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abortus, gangguan metabolisme pada ibu, faktor rhesus.
2.      Saat Kelahiran (neonatal)
Kondisi ketunadaksaan yang terjadi pada masa kelahiran bayi antara lain: Kesulitan saat persalinan karena letak bayi sungsang atau pinggul ibu terlalu kecil, pendarahan pada otak saat kelahiran, kelahiran premature, gangguan pada plasenta yang dapat mengurangi oksigen sehingga mengakibatkan terjadinya anoxia.
3.      Setelah Anak Lahir (postnatal)
Kelainan fungsi aggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi pada masa setelah lahir, diantaranya: (1) Faktor penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalis (radang otak), influenza, dhiptheria, partusis dan lain-lain. (2) Faktor kecelakaan, pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.( Laila,  2012).

3  Klasifikasi Anak Tunadaksa
            Penyandang tuna daksa rata-rata mengalami gangguan psikologis  yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya. Disamping karakteristik tersebut terdapat problem lain, gangguan taktil dan kinestetik serta gangguan emosi.(Martin & Hartini, 2012).
Klasifikasi  kelainan pada Tuna Daksa dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian besar, yaitu:
1.      Kelainan pada sistem cerebral  (Cerebral System)
Penyandang kelainan pada sistem Cerebral , kelainan terletak pada sistem saraf pusat, seperti Cerebral Palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral Palsy ditandai adanya kelainan gerak, sikap, atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Penyandang kelainan pada sitem cerebral dapat diklasifikasikan menurut derajat kecacatan dan letak kelainan otak dan fungsi gerak.
a.       Menurut derajat kecacatan: 
1.        Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan dapat menolong diri sendiri.
2.        Sedang, dengan ciri-ciri: menbutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri dan menggunakan alat-alat khusus.
3.        Berat, dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan tidak dapat menolong diri sendiri.
b.      Menurut letak kelainan otak dan fungsi gerak:
1.        Spastik, dengan ciri-ciri seperti ada kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.
2.        Dyskenesia, yang meliputi a’hetosis (penderita memperlihatkan  gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan), tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata,tangan atau kepala).
3.        Ataxia, adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai,  koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi.
4.        Jenis campuran, seseorang mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe kelainan diatas.
c.       Kelainan pada sistem otot dan rangka (Masculus skeletal System). Golongan anak tuna daksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Klasifikasi anak tuna daksa  dalam kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut:
1.      Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap, dilihat dari sel-sel yang rusak kelumpuhan polio dapat dibedakan menjadi:
1.      Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot leher,sekat dada, tangan dan kaki.
2.      Tipe bulbeir, yaitu kelumpuhan sistem motorik pada satu atau lebih saraf tepi, dengan ditandai adanya gangguan pernafasan.
3.      Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair.
4.      Enchipalitis biasanya disetai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang kejang-kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidakmeyebabkan  gangguan kecerdasan atau alat indra, akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemandekan anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi, kelainan telapak kaki yang membengkong ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang keluar dari dudukannya), lutut melenting kebelakang (genu recorvatum).

2.      Mucle distrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan  yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3.      Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan, akibatya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu: pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebih. Biasanya kasus ini di sertai dengan ketuna grahita.

4  Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah
berikut ini.
1.      Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapatmengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksayang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannyaberentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakanganmental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya,P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

2.      Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3.      Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas  hiperaktif  yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.

5  Layanan Pendidikan Anak Tunadaksa
1.      Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Connor (1975) dalam Musyafak Asyari (1995) mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut:
a.         Pengembangan Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
b.      Membantu Perkembangan Fisik
Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
c.      Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
d.         Mematangkan Aspek Sosial 
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaan nya
perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
e.         Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.


f.           Meningkatkan ekspresi diri 
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian, keterampilan atau kerajinan.
g.         Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.

Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.

2.      Sistem Pendidikan Anak Tuna Daksa
Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.         Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut :
1.      Penempatan di kelas reguler 
      Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a.       Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun  trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda; 
b.      Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah; 
c.       Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara langsung;  Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah.
2.      Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas  reguler karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).      

b.         Pendidikan Segregasi (Terpisah) 
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut:
1.      Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah.
2.      Garis-garis Besar Program Pengajaran  (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan.
3.      Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan dan hasil belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut:
1.      TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.                                              
2.      SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
3.      SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
4.      SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.

Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Pelaksanaan Pembelajaran
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang  berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut:
a.       Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak  tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.
1.      Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.
2.      Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan assessment.
3.      Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
4.      Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
5.      Menentukan metode dan evaluasi kemajuan
b.      Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa, diantaranya sebagai berikut:
1.      Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman. .
2.      Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
c.       Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari, 1995).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut:
1.      Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
2.      Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
3.      Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
4.      Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
5.      Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam.
6.      Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan ditembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
7.      Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya.
8.      Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
9.      Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman.

6 Rehabilitasi Anak Tunadaksa
Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
a)      Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan, antara lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis lainnya.
Ø  Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah bentukdan salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan bentuk atau gerak.
Ø  Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami kelainan, yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak secara aktif melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air (bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy), penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak (kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
Ø  Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari, dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya. Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya.
Ø  Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis, memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk melatih kemampuan tangan. Pemberian protease adalah pemberian perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan, gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
Ø  Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu. Perangkat tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
  1. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang punggung dan badan.
  2. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian anggota gerak atas.
  3. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
  1. Menguatkan dan mengembalikan fungsi.
  2. Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk.
  3. Pembatasan gerak.
  4. Perbaikan salah bentuk.

b)      Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam rehabilitasi vokasi ini antara lain:
Ø  Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan keberanian atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka tidak memahami jalan keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.
Ø  Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan sosial anak tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan latihan kerja.
Ø  Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita tunadaksa dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan kondisinya.
Ø  Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan penyandang kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
Ø  Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung dalam tim rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja sosial, konselor, psikolog, ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
Ø  Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi masyarakat di sekitarnya.
Ø  Selective placement, adalah penempatan para penyandang tunadaksa pada jabatan setelah selesai menjalani pendidikan dan latihan selama rehabilitasi.
Ø  Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah penyandang tunadaksa menempati jabatan pekerjaan.

c)      Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
  1. Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang dideritanya, seperti rendah diri, putus asa, mudah tersinggung, cemas, lekas marah, dan lain-lain.
  2. Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Negara.

Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di masyarakat sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar