4 Landasan Pendidikan
Inklusi
Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa
landasan sebagai azas dalam pelaksanaannya. Adapun landasan tersebut yaitu :
landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris.
1.
Landasan filosofis
Pada penerapan pendidikan inklusi di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan
atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika
(Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan
manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi
tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan
perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan,
kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka
Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan
seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Kecacatan dan
keberbakatan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya
perbedan suku, bahasa, budaya atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem
pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan
interaksi antar siswa yang beragaam, sehingga mendororng sikap silih asah,
silih asih dansilih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai
atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara filosofis, penyelenggaraan
pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:
A.
Bhineka Tunggal Ika
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya
dengan lambang Negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika.
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya
merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
B. Pandangan Agama (Khususnya Islam)
Antara lain ditegaskan bahwa:
a. Manusia diciptakan berbeda-beda untuk
saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah
ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur’an
b. Allah pernah menegur Nabi Muhammad
SAW karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur’an
menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:
c. Allah tidak melihat bentuk (fisik)
seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan
dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
C. Pandangan Universal
Hak asasi manusia menyatakan bahwa
setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan,
dan hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
Landasan Yuris internasional penerapan
pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri
pendidikan sedunia. Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas deklarasi
lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan
yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa
selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Di Indonesia,
penefrapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar
biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
Secara yuridis pendidikan inklusif
dilaksanakan berdasarkan atas:
a. UUD 1945
b. UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat
c. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia
d. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
e. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
f. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
g. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No.
380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:
Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
h. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif
bagi Peserta Didik yang Memiliki
3. Landasan Pedagogis
Landasan pedagogis, seperti yang
dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat
dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu
individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat.
Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman
sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka harus
diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4. Landasan Empiris
Landasan empiris yang dipakai dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)
2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)
3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan
untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All)
4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993
Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the
standard rules on the equalization of opportunitites for person with
dissabilities)
5) Pernyataan Salamanca Tentang
Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on
Inclusive Education)
6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan
Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)
7) Deklarasi Bandung 2004 dengan
komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”
Rekomendasi Bukittinggi 2005
mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah.Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang
inklusi yang telah banyak dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National
Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa
pakarbahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan
penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta
analisis (analisis lanjut)atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis
yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian,
Wang dan Baker (1985 - 1986) terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak
positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak penyandang
cacat dan teman sebayanya.
Terima Kasih kak
BalasHapus